Surat Cinta Untuk Ibu
Banda
Aceh, 20 Desember 2011
Surat
Cinta untuk Ibu
Salam
Rindu dan Sejahtera Untukmu…
Semoga
Allah selalu melindungimu dengan cintanya.
Hawa dingin berhembus
di kota pelajar yang saat ini merupakan tempatku untuk sementara, tempatku
menyelesaikan sekolah demi mendapatkan gelar sarjana. Saat ini aku tercatat
sebagai mahasiswa semester VII yang akan menggarap skripsi di perguruan tinggi
negeri yang dijuluki dengan Jantong Hate
Rakyat Aceh yaitu Universitas Syiah Kuala.
Waktu demi waktu
bergulir seperti kelereng yang dilepas dari tangan seseorang. Rasa-rasanya
waktuku di sini semakin terpenggal. Keadaan ini membuatku sangat sedih. Aku
takut jika sewaktu-waktu Tuhan memanggilku dan sampai saat itu aku belum bisa
membahagiakan seseorang yang telah menjadikan aku ada di dunia ini atas izin
yang di atas. Aku takut tidak bisa menjadi yang dia inginkan.
Masih terasa hangatnya
dekapan cinta yang ia berikan saat aku belum tahu apa-apa. Saat aku masih
terbaring mungil di atas kasur kecil dan bantal imut dengan balutan selimut
tebal, dia menjagaku siang dan malam hingga hari berganti minggu menjadi bulan
dan berganti tahun. Lambat laun aku tumbuh menjadi gadis yang cantik
menurutnya, berkulit sawo matang, punya bola mata yang indah, hidung yang
mungil, bibir yang senyumnya manis, dan rambut yang lebat.
Dia sebagai nafas dan
darahku dan dia adalah kau, Ibu.
Setiap malam, kau
menidurkanku dengan mesra sambil menuturkan harapan-harapanmu. Jika aku sudah
bangun, kau memandikanku, mengenakan baju bagus di tubuhku, selalu mengepang
rambutku. Hal itu selalu kau lakukan dan kau baru berhenti ketika aku sudah
mandiri. Namun, kau masih saja memanjakanku.
Selama itu juga kau
selalu mengajariku menulis, membaca hingga aku tumbuh menjadi anak yang pintar.
Amak… (sebutan manjaku untuknya) aku masih ingat saat kau menyekolahkanku ke SD
yang tak jauh dengan rumah, saat itu kepala sekolah tidak mau menerimaku dengan
alasan umurku yang belum enam tahun. Saat itu aku menangis keras di halaman
mesjid di samping sekolah tersebut. Saat itu kau berkata, “Jangan menangis
Nyak, walau tak diterima di sekolah, mak tetap akan selalu mengajarimu di
rumah”. Aku tetap saja menangis di halaman mesjid. Tiba-tiba datanglah seorang
wanita berumur 40, dia adalah kepala sekolah di salah satu SD yang juga tak
jauh dengan rumahku. Dia bertanya, “Mengapa menangis?”. Lalu Ibu menjawab,
“Tidak diterima di sekolah karena belum cukup umur.” “Ya sudah jangan menangis lagi, ikut ke
sekolah ibu saja.” Lanjut wanita yang baik hati itu. Aku dan Amakku sangat
bahagia. Akhirnya, aku pun diterima di sekolah lain walau umurku baru lima
tahun.
Aku tahu Mak, kau
begitu menyayangiku, apapun yang aku minta selalu kau penuhi. Aku juga masih
ingat Mak saat aku bergabung dalam grup Tari. Hari itu aku akan tampil di acara
pesta pernikahan di kampung kita. Setelah dirias dan memakai baju tari, bunga
yang melilit di sanggulku hilang. Engkau panik dan sibuk mencarinya, engkau
tidak mau aku tampil tidak sempurna seperti anak-anak lainnya sampai-sampai
dalam waktu 30 menit itu kau pergi ke pasar untuk membelikan yang baru padahal
rumah kita sangat jauh dengan keramaian pasar. Akan tetapi, hanya demi aku kau
rela mencarinya ke sana ke mari.
Pengorbananmu tetap
tersalurkan, berlanjut, tak pernah putus hingga masa anak-anakku berganti
remaja. Aku juga masih ingat Mak, kau selalu menyiapkan sarapan untukku bahkan
kau meyiapkan bekal untukku ke sekolah jika terkadang ada pelajaran
tambahan di sekolah.
Hal tersebut tetap saja
kau lakukan walau anakmu bukan hanya aku. Aku juga masih ingat saat kau
menyiapkan bekal ketika aku akan balik ke kota ini. Kau siapkan segalanya
dengan waktu yang tergesa-gesa, kau begitu sibuk, kau begitu perhatian,
sampai-sampai kau tak peduli pada kesehatanmu. Kau bekerja membanting tulang,
mencari uang seribu dua ribu, kau membantu ayah mencari nafkah.
Aku masih ingat Mak…
saat aku duduk di bangku SMP, setiap bulan Ramadhan kau tak pernah
membangunkanku untuk membantumu memasak, menyiapkan sahur. Kau takut jika aku
akan terkantuk-kantuk nantinya, kau takut mataku merah karena tak cukup tidur.
Kau selalu membangunkanku ketika semuanya sudah siap bahkan hal seperti itu
tetap saja berulang sampai aku sudah SMA. Begitu juga siangnya, kau tak pernah
membiarkan aku di dapur bersamamu, kau tak ingin aku kelelahan atau tergoda
melihat makanan, kau takut puasaku batal.
Kau adalah ibu rumah
tangga yang sempurna, merangkap semua pekerjaan dan tugas; sebagai seorang
istri, seorang ibu, seorang guru, seorang wirausaha, seorang asisten rumah
tangga, dll. Walaupun demikian, kau tak pernah mengeluh.
Akan tetapi, apa yang
pernah kuberikan untukmu. Aku belum membalas satu pun pengorbananmu. Aku belum
pernah membiarkanmu duduk bersantai di kursi kenyamanan sementara tugasmu biar
aku yang kerjakan. Aku belum melakukan itu. Belum pernah memasak untukmu,
melayanimu seperti kau melayani aku, mencuci bajumu, menyisir rambutmu,
memberikan hadiah dengan hasil keringatku, atau cukup dengan membuatmu bahagia
dengan melihat kesuksesanku. Entah kapan hal itu bisa kuwujudkan.
Masih banyak
pengorbanan-pengorbanan lain yang tlah kau lakukan untukku dengan bercucuran
keringat dan airmata. Satu tetes keringatmu adalah satu kebahagiaan untukku.
Satu tetes airmatamu adalah seribu duka untukku.
Maafkan aku jika sampai
saat ini aku belum bisa membahagiakanmu,
mewujudkan mimpimu untuk menjadi seorang dokter, seorang bidan, atau seorang
perawat. Aku tidak bisa kuliah di tempat yang kau inginkan itu.
Maafkan aku juga Mak…
jika selama ini terbersit dalam hatiku rasa kecewaku padamu. Aku sadar semua
takdir di diriku bukan salahmu. Ini takdir yang di atas. Jika memang hal ini
akan membuatku terpisah darimu begitu cepat, aku ikhlas.
Aku
tak tahu sampai di mana waktuku
Mungkin
buntu atau terputus
Satu
keadaan menciptakan airmata di tengah tawa
Haruskah
kuceritakan?
Jika
nanti aku tlah tiada
Bukan
berarti aku tidak memenuhi pintamu
Bukan
berarti juga aku tak menepati janjiku
Hanya
saja takdir berbicara lain
Biarlah
kupenuhi di surga nanti
Hanyalah
satu dekapan mesra dan peluk ciummu yang masih hangat terasa saat kita terpisah
sementara di November kemarin. Satu kalimat untukmu, “Aku mencintaimu di atas
cintaku pada diriku.”
Salam
Ananda
Nanda Roshita Rahman
Surat
cinta ini tetap tertuju untukmu seorang, untuk sosok tercantik di istanaku di
Aceh Utara sana. Semoga kau tersenyum membacanya karena kau tahu betapa aku
mencintaimu dengan jarak.
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTAR SESUAI PERLUNYA. MEMPUNYAI PERTANYAAN ATAU PERMINTAAN, SILAHKAN KOMENTAR