Friday 4 October 2013

Kategori: , ,

Pemilihan Masalah dan Kerangka Teoritis Penelitian

Pemilihan Masalah dan Kerangka Teoritis Penelitian

Hasan Mustafa/2001

        Bagi sebagian besar peneliti, upaya penetapan masalah penelitian bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Beberapa peneliti, berdasarkan pengalaman mereka, menghabiskan beberapa hari atau bahkan minggu atau bulan untuk memikirkan masalah yang akan ditelitinya. Mengapa masalah penelitian tidak mudah ditemukan?. Pertama, karena masalah yang dipilih oleh peneliti seyogianya mampu memotivasi peneliti untuk bekerja keras dan penuh semangat. Kedua, masalah yang akan diteliti tidak hanya menarik bagi dirinya sendiri, melainkan juga bisa memperoleh penghargaan dari pihak lain. Ketiga, informasi atau data yang berkaitkan dengan masalah tersebut bisa harus diperoleh. Keempat, peneliti harus yakin bahwa dia mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang berkaitan dengan masalah yang dipilihnya.

      Masalah, dalam bahasa sehari-hari dan juga dalam konteks penelitian dapat diartikan banyak.

Pertama, kita mengatakan sesuatu hal adalah masalah jika hal tadi bersifat negatif. Sakit, lapar, rugi, kualitas buruk, kinerja tidak sesuai harapan, target tidak tercapai, dan lain sebagainya. Jadi jika seseorang ditanya “Ada masalah?”, dan jawabnya “tidak”, maka dia merasa tidak ada hal yang dianggapnya negatif.

 Kedua, masalah tidak selalu harus berarti yang “something wrong”, yang perlu segera ditanggulangi. Masalah dalam penelitian dapat saja “sekedar” berupa hal yang menarik untuk diteliti bukan karena “keburukannya”, tetapi justru karena “kebaikannya”, “kehebatannya”, atau “keunikannya”. Misalnya saja, ada sebuah organisasi yang menerapkan suatu sistem kerja baru yang berhasil meningkatkan kinerja organisasi tersebut, oleh karena itu sistem kerja baru tersebut menarik untuk diteliti, dan hal tersebut dapat dijadikan sebagai masalah penelitian.

 Ketiga, masalah juga  kadang diartikan sebagai topik atau isu suatu diskusi atau pembicaraan. Misalnya, tidak jarang kita mendengar orang berkata : “Masalah yang akan dibicarakan minggu depan adalah teknik memasak ikan”.
 Keempat, masalah juga banyak dimaknakan sebagai suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jika seharusnya (harapan) pegawai masuk pukul 07.00 wib., namun kenyataannya sebagian besar mereka masuk pukul 08.00, maka di dalamnya ada masalah.

      Namun apa pun pengertian tentang masalah dalam penelitian, pada akhirnya pengertian tentang hal itu bermuara pada konsensus bahwa “apa pun yang ingin diketahui” oleh peneliti, itulah masalah penelitian. Peneliti perlu pula mampu membedakan antara simptom (symptom) dengan masalah. Misalnya, seorang manajer telah berupaya meningkatkan produktivitas dengan cara memperbesar upah perpotong produk yang dihasilkan, namun upaya tersebut kurang berhasil. Apa yang terjadi tersebut walau sudah menunjukan adanya masalah, namun bukan merupakan masalah yang sesungguhnya, melainkan merupakan “symptom” (tanda-tanda sesuatu sedang dalam kondisi buruk). Masalah yang seharusnya diteliti adalah faktor-faktor yang memang dianggap sebagai penyebab munculnya simptom tadi. Misalnya saja motivasi kerja, ketrampilan kerja, atau hal lainnya.

Sumber masalah
      Kadang kita bertanya pada diri kita sendiri :” Di mana saya bisa menemukan masalah yang sekiranya pantas untuk diteliti?” Ada beberapa tempat yang dapat dijadikan sebagai sumber masalah. Pertama adalah dari teori.[1] Seperti yang dikemukakan oleh Kerlinger (1973) : “Teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan satu sama lain, yang mampu mewakili pandangan yang sistematik tentang suatu gejala (phenomena) dengan cara menspesifikasikan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”[2]
      Banyak teori yang relevan dalam bidang administrasi atau manajemen, misalnya teori motivasi dan kepemimpinan, perencanaan, pengendalian, struktur organisasi, budaya organisasi, dan teori-teori lainnya. Dari dalamnya dapat ditarik satu topik yang bisa dijadikan sebagai masalah penelitian. Teori adalah teori, bukan wadah dari kumpulan fakta. Artinya dalam teori terdapat generalisasi dan prinsip-prinsip yang dihipotesiskan yang perlu dibuktikan kebenarannya melalui penelitian ilmiah. Benarkah motivasi berkorelasi positif dengan kinerja?, benarkah perilaku yang diinginkan dapat muncul melalui penerapan “reward and punishment”?, benarkah gaya kepemimpinan partisipatif lebih efektif dibandingkan dengan gaya otoriter?.
     Sumber lain yang juga bermanfaat adalah berasal dari pengalaman pribadi peneliti.  Misalnya, seorang mahasiswa seringkali mengalami hambatan ketika harus berurusan dengan pegawai-pegawai dari sebuah instansi. Jarang sekali urusan yang diselesaikan oleh instansi tersebut tepat waktu. Kejadian tersebut (simptom) dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk menetapkan masalah penelitiannya. Jadi pengalaman-pengalaman praktis dapat juga merupakan sumber masalah penelitian.
     Sumber masalah lainnya adalah literatur  atau bahan-bahan bacaan ilmiah atau pun populer. Jurnal-jurnal, majalah, koran, atau bahkan laporan-laporan penelitian. Melalui informasi-informasi yang ditulis di media-media tertsebut, peneliti bisa menemukan sesuatu hal yang mungkin menarik untuk ditelitinya.
     Peneliti juga dapat menemukan masalah melalui interaksi dengan orang lain. Berbicang-bincang dengan pimpinan suatu organisasi, dengan pegawainya, dengan pengguna jasa organisasi tersebut. Penelitian tentang kepuasan pegawai, kepuasan pelanggan, dan komitmen organisasional, biasanya diawali dengan obrolan-obrolan santai, tanpa disengaja. 

Beberapa contoh topik/isu/masalah dalam penelitian administrasi atau manajemen :
1.     Perilaku pegawai : kinerja, ketidak-hadiran, turnover.
2.     Sikap pegawai : kepuasan kerja, loyalitas, dan komitmen pada organisasi.
3.     Kinerja atasan, gaya kepemimpinan, dan sistem penilaian kinerja.
4.     Validitas sistem seleksi dan penilaian kinerja.
5.     Budaya organisasi  dan proses sosialisasi
6.     Manajemen partisipatif dan efektivitas kinerja.
7.     Pola kerja alternatif : Job sharing, flexitime, part-time.
8.     Model Sistem Informasi Eksekutif.
9.     Keluhan pelanggan.
10.                        Loyalitas terhadap merek
11.                        Citra logo perusahaan.
12.                        Pengelolaan perbedaan budaya dalam organisasi multinasional.
13.                        Model matematik dalam mengukur efektivitas organisasi
14.                        Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
15.                        Sistem “just-in-time”, strategi “continous-improvement” dihubungkan dengan efesiensi produksi.
16.                        Perbedaan jender dalam kepemimpinan.
17.                        Disiplin kerja pegawai.

Mendefinisikan masalah.
Definisi masalah atau pernyataan masalah (problem statement) pada dasarnya merupakan pernyataan yang mampu menggambarkan sesuatu yang ingin diketahui oleh peneliti, dan melalui penelitiannya dia akan memperoleh jawabannya. Karena merupakan suatu keingin-tahuan, maka umumnya definisi masalah penelitian berbentuk kalimat tanya. Di bawah ini disajikan beberapa contoh :
·        Sejauh mana struktur organisasi dan jenis sistem informasi yang di – terapkan berpengaruh terhadap efektivitas pengambilan keputusan ?
·        Sejauh mana cara advertensi yang baru dilakukan mampu mencipta-kan citra organisasi yang berorientasi pada pelanggan?
·        Komponen-komponen apa yang ada dalam kualitas kehidupan kerja?
·        Bagaimana akibat merger terhadap struktur organisasi?
·        Apakah ada hubungan antara jumlah gaji yang diterima pegawai dengan kedisipinan kerja mereka?
·        Bagaimana organisasi melaksanakan seleksi pegawai?
·        Sejauhmana efektivitas program pelatihan yang dilakukan organisasi?
·        Sejauhmana wanita dapat menduduki posisi kunci dalam organisasi ?
·        Bagaimana tingkat kepuasan pegawai?
·        Benarkah pegawai wanita lebih disiplin dibanding dengan pegawai pria?

Kerangka Kerja Teoritis
    Kerangka kerja teoritis merupakan dasar dari keseluruhan proyek penelitian. Di dalamnya dikembangkan, diuraikan dan dielaborasi hubungan-hubungan di antara variabel-variabel yang telah diidentifikasi melalui proses wawancara. Observasi, dan juga studi literatur. Menurut Uma Sekaran (1984), yang dimaksud dengan “kerangka kerja teoritis adalah model konseptual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai macam faktor yang telah diidentifikasikan sebagai sesuatu hal yang penting bagi suatu masalah.“[3]. Dengan kata lain, kerangka kerja teoritis membahas keterhubungan antar variabel yang dianggap terintegrasikan dalam dinamika situasi yang akan diteliti. Melalui pengembangan kerangka kerja konseptual, memungkinkan kita untuk menguji beberapa hubungan antar variabel, sehingga kita dapat mempunyai pemahaman yang komprehensif atas masalah yang sedang kita teliti.
     Kerangka kerja teoritis yang baik, mengidentifikasikan dan menyebutkan variabel-variabel penting yang terkait dengan masalah penelitian. Secara logis menguraikan keterhubungan di antara variabel tersebut. Hubungan antara variabel independen dengan dependen, dan kalau ada, variabel moderator dan juga intervening akan dimunculkan. Hubungan tersebut tidak hanya digambarkan, melainkan juga diterangkan secara rinci. Seringkali, kerangka kerja teoritis dikenal dengan model, karena model juga merupakan representasi dari hubungan antara konsep-konsep.
     Ada lima komponen dasar yang seharusnya ditampakan dalam kerangka kerja teoritis.
1.     Variabel-variabel yang dianggap relevan untuk diteliti harus diidentifikasi secara jelas dan diberi label.
2.     Harus ada penjelasan tentang bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya.
3.     Harus juga ada penjelasan apakah hubungan antar variable tersebut positif atau negatif.
4.     Harus disertakan diagram sebagai visualisasi, agar pembaca lebih mempunyai gambaran.

Contoh [4]
Masalah :
Walaupun telah terjadi perubahan yang dramatis dalam hal jumlah manajer wanita dalam dekade sekarang, namun jumlah wanita yang menduduki jabatan manajerial puncak ternyata sangat sedikit. Hal ini cocok dengan pandangan “a glass ceiling effect” (Morrison, White, VanVelsor, 1987) – satu hambatan yang tidak kentara, yang mencegah wanita untuk maju menduduki tingkat manajerial puncak. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor organisasional yang merintangi wanita menduduki jabatan manajerial puncak.

Studi literatur
Sebelum menyusun kerangka kerja teoritis, peneliti melakukan studi literatur terlebih dahulu. Hasilnya sebagai berikut : Seringkali yang dijadikan alasan mengapa wanita tidak atau sangat sedikit menduduki jabatan puncak,  adalah karena baru sekarang mereka masuk ke jenjang manajerial. Artinya belum waktunya wanita sampai di puncak karier. Namun banyak wanita yang sekarang menduduki tingkat manajerial menengah merasa bahwa paling tidak ada dua unsur penghambat kemajuan karier wanita, yaitu : stereotype peran jender dan kekurangan akses informasi penting yang dimiliki wanita. (Crosby, 1985; Welch, 1980) 
Stereotype peran jender, atau stereotype peran berdasarkan jenis kelamin adalah keyakinan masyarakat bahwa laki-laki lebih cocok menduduki posisi pemimpin yang harus memiliki kekuasaan dan wewenang, sedangkan wanita lebih cocok menjadi pengasuh dan mempunyai peran membantu orang lain. (Eagly, 1989; Kahn & Crosby, 1985). Kepercayaan atau keyakinan ini mempengaruhi posisi yang akan diberikan kepada setiap anggota organisasi. Laki-laki yang cakap diberi posisi lini dan dikembangkan untuk mengambil tanggungjawab posisi eksekutif, dan wanita yang cakap diberikan posisi staf dan “dead-end-jobs”.  Wanita juga seringkali dijauhkan dari jaringan kerja para “old-boys”, karena alasan jenis kelaminnya. Pertukaran informasi, strategi pengembangan karier, akses pada sumber-sumber daya penting, dan beberapa informasi penting untuk mobilitas ke atas, tidak diperoleh para pekerja wanita.

Kerangka-kerja teoritis.
Variabel utama penelitian ini adalah dependen variabel, yaitu “kemajuan wanita ke posisi manajerial puncak”. Dua variabel independen yang mempengaruhi dependen variabel adalah “stereotype peran jender” dan “akses pada informasi penting”. Perlu juga dicatat bahwa di antara dua variabel independen, juga berhubungan.

a. Stereotype peran jender mempunyai dampak yang merugikan terhadap kemajuan karier wanita. Karena wanita dipandang sebagai pemimpin yang tidak efektif, namun sebagai pengasuh yang baik, maka mereka tidak diberi posisi lini, melainkan staf. Hanya di  posisi lini seorang manajer bisa membuat keputusan berarti, mengendalikan anggaran, dan berinteraksi dengan pimpinan yang lebih atas. Kesempatan baik untuk belajar, tumbuh dan berkembang dalam pekerjaan, dapat membantu para manajer lini untuk maju ke arah posisi puncak manajerial. Namun, karena wanita ada di posisi staf, maka mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi “key people” dalam organisasi. Oleh karena itu kemajuan wanita untuk mencapai posisi puncak tidak pernah dipertimbangkan oleh sistem yang ada, dan mereka selalu terlewati. Dengan demikian stereotype peran jender telah menghambat kemajuan wanita menuju puncak karier.

b. Dengan tersisihkannya wanita dari jaringan kerja di mana para pria sering berinteraksi secara informal di padang golf, pubs, café, dan lain sebagainya, wanita kehilangan berbagai informasi penting bagi kemajuan karier mereka. Misalnya, banyak perubahan organisasional dan kejadian-kejadian yang penting dibicarakan oleh para pria secara informal di luar tatanan kerja. Wanita umumnya sering kali tidak tahu perkembangan mutakhir organisasi karena mereka bukan merupakan bagian dari kelompok informal tadi. Hal ini sudah tentu merupakan hambatan.

c. Stereotype peran jender juga menghalangi akses perolehan informasi penting. Jika wanita tidak dipertimbangkan untuk menjadi pengambil keputusan, namun melulu dipandang sebagai pegawai penunjang, mereka tidak akan diberi informasi yang penting, karena dianggap kurang relevan bagi mereka.  

Hubungan di antara ketiga variabel tersebut digambarkan dalam diagram di bawah ini :


Dari kerangka kerja teoritis di atas dapat ditarik beberapa hipotesis :

1.     Makin banyak penganut stereotype peran jender dalam organisasi, makin sedikit jumlah wanita yang menduduki posisi manajerial puncak

2.     Dalam jenjang manajerial yang sama, manajer pria mempunyai akses informasi penting lebih banyak daripada manajer wanita.

3.     Ada hubungan positif yang signifikan di antara akses pada informasi dengan kesempatan promosi ke posisi manajerial puncak.

4.     Antara stereotype peran jender dan akses pada informasi penting mempunyai korelasi negatif.


5.     Stereotype peran jender dan akses pada informasi penting, keduanya secara signifikan mempunyai korelasi dengan kesempatan wanita menduduki posisi manajerial puncak.



Daftar Bacaan :
Gay, L.R & Diehl, P.L. Research Methods for Business and management, 1992
Kerlinger, Fred N, Foundatios Of Behavioral Research, Second Edition, 1973.
Sekaran, Uma, Research Methods for Business, A Skill Building Approach, Second Edition, 1984.
  

Latihan-latihan

 Pelajari situasi di bawah ini :

1. Seorang manajer menemukan fakta bahwa pelatihan yang dilakukan di luar ruangan mempunyai dampak relatif besar terhadap produktivitas pegawai di departemennya. Namun, dia juga mengamati bahwa bagi pegawai yang berusia di atas lima puluh tahun, pelatihan tersebut kurang berpengaruh terhadap produktivitas kerja mereka.

2. Seorang mahasiswa yang akan melakukan penelitian mengamati perilaku pekerja pabrik di departemen pengepakan.  Agar pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik, pekerja di bagian itu harus berinteraksi satu sama lainnya. Sehabis bekerja, biasanya mereka berkumpul, minum bersama di sebuah café yang ada di sekitar pabrik. Makin intensif interaksi ketika mereka bekerja, makin lama mereka berada di café. Namun, walaupun interaksi kerja di antara pegawai wanita juga intensif, mereka tidak suka berlama-lama berada di café.

Gambarkan hubungan di antara variabel yang terdapat dalam situasi 1 dan 2 di atas, dan sebutkan jenis variabelnya.


Situasi 3 :
Manajer dari sebuah perusahaan air mineral mengamati bahwa semangat kerja pegawai di perusahaannya rendah. Dia berpikir, jika kondisi kerja, skala upah, dan tunjangan cuti diperbaiki, maka semangat kerja mereka bisa lebih baik. Namun dia juga ragu bahwa perbaikan skala upah akan mampu menaikan semangat kerja semua pegawai. Dia menduga, pegawai yang mempunyai “penghasilan sampingan”, kurang tertarik pada perbaikan skala upah. Namun bagi yang tidak mempunyai penghasilan sampingan, mereka akan bahagia dan akibatnya semangat kerjanya meningkat.

Susun kerangka kerja teoritis situasi ke 3 di atas. Gambarkan diagram atau model situasi tersebut. 





[1] Gay, L.R & Diehl, P.L., Research Methods for Business and Management, 1992
[2] Fred Kerlinger, Foundations of Behavioral Research, 1973 – Terjemahan penulis
[3] Uma Seakaran, Research Methods for Business, A Skill Building Approach, Second Edition, 1984 – terjemahan penulis
[4] Disadur dari buku Research Methods for Business, Uma Sekaran 1984, halaman 85 - 87

0 komentar:

Post a Comment

BERKOMENTAR SESUAI PERLUNYA. MEMPUNYAI PERTANYAAN ATAU PERMINTAAN, SILAHKAN KOMENTAR