Pemilihan Masalah dan Kerangka Teoritis
Penelitian
Bagi sebagian besar peneliti, upaya
penetapan masalah penelitian bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Beberapa
peneliti, berdasarkan pengalaman mereka, menghabiskan beberapa hari atau bahkan
minggu atau bulan untuk memikirkan masalah yang akan ditelitinya. Mengapa
masalah penelitian tidak mudah ditemukan?. Pertama,
karena masalah yang dipilih oleh peneliti seyogianya mampu memotivasi peneliti
untuk bekerja keras dan penuh semangat. Kedua,
masalah yang akan diteliti tidak hanya menarik bagi dirinya sendiri, melainkan
juga bisa memperoleh penghargaan dari pihak lain. Ketiga, informasi atau data yang berkaitkan dengan masalah tersebut
bisa harus diperoleh. Keempat,
peneliti harus yakin bahwa dia mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan dan
menganalisis data yang berkaitan dengan masalah yang dipilihnya.
Masalah, dalam bahasa sehari-hari dan
juga dalam konteks penelitian dapat diartikan banyak.
Pertama, kita mengatakan sesuatu hal adalah masalah jika hal
tadi bersifat negatif. Sakit, lapar, rugi, kualitas buruk, kinerja tidak sesuai
harapan, target tidak tercapai, dan lain sebagainya. Jadi jika seseorang
ditanya “Ada masalah?”, dan jawabnya “tidak”, maka dia merasa tidak ada hal
yang dianggapnya negatif.
Kedua,
masalah tidak selalu harus berarti yang “something
wrong”, yang perlu segera ditanggulangi. Masalah dalam penelitian dapat
saja “sekedar” berupa hal yang menarik untuk diteliti bukan karena
“keburukannya”, tetapi justru karena “kebaikannya”, “kehebatannya”, atau
“keunikannya”. Misalnya saja, ada sebuah organisasi yang menerapkan suatu
sistem kerja baru yang berhasil meningkatkan kinerja organisasi tersebut, oleh
karena itu sistem kerja baru tersebut menarik untuk diteliti, dan hal tersebut
dapat dijadikan sebagai masalah penelitian.
Ketiga,
masalah juga kadang diartikan sebagai
topik atau isu suatu diskusi atau pembicaraan. Misalnya, tidak jarang kita
mendengar orang berkata : “Masalah yang akan dibicarakan minggu depan adalah
teknik memasak ikan”.
Keempat,
masalah juga banyak dimaknakan sebagai suatu kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Jika seharusnya (harapan) pegawai masuk pukul 07.00 wib., namun
kenyataannya sebagian besar mereka masuk pukul 08.00, maka di dalamnya ada
masalah.
Namun apa pun pengertian tentang masalah
dalam penelitian, pada akhirnya pengertian tentang hal itu bermuara pada
konsensus bahwa “apa pun yang ingin diketahui” oleh peneliti, itulah masalah
penelitian. Peneliti perlu pula mampu membedakan antara simptom (symptom) dengan masalah. Misalnya,
seorang manajer telah berupaya meningkatkan produktivitas dengan cara
memperbesar upah perpotong produk yang dihasilkan, namun upaya tersebut kurang
berhasil. Apa yang terjadi tersebut walau sudah menunjukan adanya masalah,
namun bukan merupakan masalah yang sesungguhnya, melainkan merupakan “symptom” (tanda-tanda sesuatu sedang
dalam kondisi buruk). Masalah yang seharusnya diteliti adalah faktor-faktor
yang memang dianggap sebagai penyebab munculnya simptom tadi. Misalnya saja
motivasi kerja, ketrampilan kerja, atau hal lainnya.
Sumber masalah
Kadang kita bertanya pada diri
kita sendiri :” Di mana saya bisa menemukan masalah yang sekiranya pantas untuk
diteliti?” Ada beberapa tempat yang dapat dijadikan sebagai sumber masalah.
Pertama adalah dari teori.
Seperti yang dikemukakan oleh Kerlinger (1973) : “Teori adalah seperangkat
konstruk atau konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan satu sama
lain, yang mampu mewakili pandangan yang sistematik tentang suatu gejala (phenomena) dengan cara
menspesifikasikan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan dan
memprediksi gejala tersebut”
Banyak teori yang relevan dalam bidang
administrasi atau manajemen, misalnya teori motivasi dan kepemimpinan,
perencanaan, pengendalian, struktur organisasi, budaya organisasi, dan
teori-teori lainnya. Dari dalamnya dapat ditarik satu topik yang bisa dijadikan
sebagai masalah penelitian. Teori adalah teori, bukan wadah dari kumpulan fakta.
Artinya dalam teori terdapat generalisasi dan prinsip-prinsip yang
dihipotesiskan yang perlu dibuktikan kebenarannya melalui penelitian ilmiah.
Benarkah motivasi berkorelasi positif dengan kinerja?, benarkah perilaku yang
diinginkan dapat muncul melalui penerapan “reward
and punishment”?, benarkah gaya kepemimpinan partisipatif lebih efektif
dibandingkan dengan gaya otoriter?.
Sumber lain yang juga bermanfaat adalah
berasal dari pengalaman pribadi
peneliti. Misalnya, seorang
mahasiswa seringkali mengalami hambatan ketika harus berurusan dengan
pegawai-pegawai dari sebuah instansi. Jarang sekali urusan yang diselesaikan
oleh instansi tersebut tepat waktu. Kejadian tersebut (simptom) dapat dijadikan
sebagai titik tolak untuk menetapkan masalah penelitiannya. Jadi
pengalaman-pengalaman praktis dapat juga merupakan sumber masalah penelitian.
Sumber masalah lainnya adalah
literatur atau bahan-bahan bacaan ilmiah
atau pun populer. Jurnal-jurnal, majalah, koran, atau bahkan laporan-laporan
penelitian. Melalui informasi-informasi yang ditulis di media-media tertsebut,
peneliti bisa menemukan sesuatu hal yang mungkin menarik untuk ditelitinya.
Peneliti juga dapat menemukan masalah
melalui interaksi dengan orang lain. Berbicang-bincang dengan pimpinan suatu
organisasi, dengan pegawainya, dengan pengguna jasa organisasi tersebut.
Penelitian tentang kepuasan pegawai, kepuasan pelanggan, dan komitmen
organisasional, biasanya diawali dengan obrolan-obrolan santai, tanpa
disengaja.
Beberapa
contoh topik/isu/masalah dalam penelitian administrasi atau manajemen :
1. Perilaku pegawai : kinerja, ketidak-hadiran, turnover.
2. Sikap pegawai : kepuasan kerja, loyalitas, dan
komitmen pada organisasi.
3. Kinerja atasan, gaya kepemimpinan, dan sistem
penilaian kinerja.
4. Validitas sistem seleksi dan penilaian kinerja.
5. Budaya organisasi
dan proses sosialisasi
6. Manajemen partisipatif dan efektivitas kinerja.
7. Pola kerja alternatif : Job sharing, flexitime,
part-time.
8. Model Sistem Informasi Eksekutif.
9. Keluhan pelanggan.
10.
Loyalitas terhadap
merek
11.
Citra logo
perusahaan.
12.
Pengelolaan
perbedaan budaya dalam organisasi multinasional.
13.
Model matematik
dalam mengukur efektivitas organisasi
14.
Program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
15.
Sistem
“just-in-time”, strategi “continous-improvement” dihubungkan dengan efesiensi
produksi.
16.
Perbedaan jender
dalam kepemimpinan.
17.
Disiplin kerja
pegawai.
Mendefinisikan masalah.
Definisi
masalah atau pernyataan masalah (problem
statement) pada dasarnya merupakan pernyataan yang mampu menggambarkan
sesuatu yang ingin diketahui oleh peneliti, dan melalui penelitiannya dia akan
memperoleh jawabannya. Karena merupakan suatu keingin-tahuan, maka umumnya
definisi masalah penelitian berbentuk kalimat tanya. Di bawah ini disajikan
beberapa contoh :
·
Sejauh mana
struktur organisasi dan jenis sistem informasi yang di – terapkan berpengaruh
terhadap efektivitas pengambilan keputusan ?
·
Sejauh mana cara
advertensi yang baru dilakukan mampu mencipta-kan citra organisasi yang
berorientasi pada pelanggan?
·
Komponen-komponen
apa yang ada dalam kualitas kehidupan kerja?
·
Bagaimana akibat
merger terhadap struktur organisasi?
·
Apakah ada
hubungan antara jumlah gaji yang diterima pegawai dengan kedisipinan kerja
mereka?
·
Bagaimana
organisasi melaksanakan seleksi pegawai?
·
Sejauhmana
efektivitas program pelatihan yang dilakukan organisasi?
·
Sejauhmana wanita
dapat menduduki posisi kunci dalam organisasi ?
·
Bagaimana tingkat
kepuasan pegawai?
·
Benarkah pegawai
wanita lebih disiplin dibanding dengan pegawai pria?
Kerangka Kerja Teoritis
Kerangka kerja teoritis merupakan dasar
dari keseluruhan proyek penelitian. Di dalamnya dikembangkan, diuraikan dan
dielaborasi hubungan-hubungan di antara variabel-variabel yang telah
diidentifikasi melalui proses wawancara. Observasi, dan juga studi literatur. Menurut
Uma Sekaran (1984), yang dimaksud dengan “kerangka kerja teoritis adalah model
konseptual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai macam faktor yang
telah diidentifikasikan sebagai sesuatu hal yang penting bagi suatu masalah.“.
Dengan kata lain, kerangka kerja teoritis membahas keterhubungan antar variabel
yang dianggap terintegrasikan dalam dinamika situasi yang akan diteliti.
Melalui pengembangan kerangka kerja konseptual, memungkinkan kita untuk menguji
beberapa hubungan antar variabel, sehingga kita dapat mempunyai pemahaman yang
komprehensif atas masalah yang sedang kita teliti.
Kerangka kerja teoritis yang baik,
mengidentifikasikan dan menyebutkan variabel-variabel penting yang terkait
dengan masalah penelitian. Secara logis menguraikan keterhubungan di antara
variabel tersebut. Hubungan antara variabel independen dengan dependen, dan
kalau ada, variabel moderator dan juga intervening akan dimunculkan. Hubungan
tersebut tidak hanya digambarkan, melainkan juga diterangkan secara rinci. Seringkali,
kerangka kerja teoritis dikenal dengan model, karena model juga merupakan
representasi dari hubungan antara konsep-konsep.
Ada lima komponen dasar yang seharusnya
ditampakan dalam kerangka kerja teoritis.
1. Variabel-variabel yang dianggap relevan untuk diteliti
harus diidentifikasi secara jelas dan diberi label.
2. Harus ada penjelasan tentang bagaimana hubungan antara
satu variabel dengan variabel lainnya.
3. Harus juga ada penjelasan apakah hubungan antar
variable tersebut positif atau negatif.
4. Harus disertakan diagram sebagai visualisasi, agar
pembaca lebih mempunyai gambaran.
Masalah :
Walaupun telah terjadi perubahan yang dramatis dalam
hal jumlah manajer wanita dalam dekade sekarang, namun jumlah wanita yang
menduduki jabatan manajerial puncak ternyata sangat sedikit. Hal ini cocok
dengan pandangan “a glass ceiling effect”
(Morrison, White, VanVelsor, 1987) – satu hambatan yang tidak kentara, yang
mencegah wanita untuk maju menduduki tingkat manajerial puncak. Penelitian ini
merupakan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor organisasional yang
merintangi wanita menduduki jabatan manajerial puncak.
Studi literatur
Sebelum menyusun kerangka kerja teoritis, peneliti
melakukan studi literatur terlebih dahulu. Hasilnya sebagai berikut :
Seringkali yang dijadikan alasan mengapa wanita tidak atau sangat sedikit
menduduki jabatan puncak, adalah karena
baru sekarang mereka masuk ke jenjang manajerial. Artinya belum waktunya wanita
sampai di puncak karier. Namun banyak wanita yang sekarang menduduki tingkat
manajerial menengah merasa bahwa paling tidak ada dua unsur penghambat kemajuan
karier wanita, yaitu : stereotype peran jender dan kekurangan akses informasi
penting yang dimiliki wanita. (Crosby, 1985; Welch, 1980)
Stereotype peran jender, atau stereotype peran
berdasarkan jenis kelamin adalah keyakinan masyarakat bahwa laki-laki lebih
cocok menduduki posisi pemimpin yang harus memiliki kekuasaan dan wewenang,
sedangkan wanita lebih cocok menjadi pengasuh dan mempunyai peran membantu orang
lain. (Eagly, 1989; Kahn & Crosby, 1985). Kepercayaan atau keyakinan ini
mempengaruhi posisi yang akan diberikan kepada setiap anggota organisasi.
Laki-laki yang cakap diberi posisi lini dan dikembangkan untuk mengambil
tanggungjawab posisi eksekutif, dan wanita yang cakap diberikan posisi staf dan
“dead-end-jobs”. Wanita juga seringkali dijauhkan dari
jaringan kerja para “old-boys”,
karena alasan jenis kelaminnya. Pertukaran informasi, strategi pengembangan
karier, akses pada sumber-sumber daya penting, dan beberapa informasi penting
untuk mobilitas ke atas, tidak diperoleh para pekerja wanita.
Kerangka-kerja
teoritis.
Variabel utama penelitian ini adalah dependen
variabel, yaitu “kemajuan wanita ke posisi manajerial puncak”. Dua variabel
independen yang mempengaruhi dependen variabel adalah “stereotype peran jender”
dan “akses pada informasi penting”. Perlu juga dicatat bahwa di antara dua
variabel independen, juga berhubungan.
a. Stereotype peran jender mempunyai dampak yang
merugikan terhadap kemajuan karier wanita. Karena wanita dipandang sebagai
pemimpin yang tidak efektif, namun sebagai pengasuh yang baik, maka mereka
tidak diberi posisi lini, melainkan staf. Hanya di posisi lini seorang manajer bisa membuat
keputusan berarti, mengendalikan anggaran, dan berinteraksi dengan pimpinan
yang lebih atas. Kesempatan baik untuk belajar, tumbuh dan berkembang dalam
pekerjaan, dapat membantu para manajer lini untuk maju ke arah posisi puncak
manajerial. Namun, karena wanita ada di posisi staf, maka mereka tidak
mempunyai kesempatan untuk menjadi “key
people” dalam organisasi. Oleh karena itu kemajuan wanita untuk mencapai
posisi puncak tidak pernah dipertimbangkan oleh sistem yang ada, dan mereka
selalu terlewati. Dengan demikian stereotype peran jender telah menghambat
kemajuan wanita menuju puncak karier.
b. Dengan tersisihkannya wanita dari jaringan kerja di
mana para pria sering berinteraksi secara informal di padang golf, pubs, café,
dan lain sebagainya, wanita kehilangan berbagai informasi penting bagi kemajuan
karier mereka. Misalnya, banyak perubahan organisasional dan kejadian-kejadian
yang penting dibicarakan oleh para pria secara informal di luar tatanan kerja.
Wanita umumnya sering kali tidak tahu perkembangan mutakhir organisasi karena
mereka bukan merupakan bagian dari kelompok informal tadi. Hal ini sudah tentu
merupakan hambatan.
c. Stereotype peran jender juga menghalangi akses
perolehan informasi penting. Jika wanita tidak dipertimbangkan untuk menjadi
pengambil keputusan, namun melulu dipandang sebagai pegawai penunjang, mereka
tidak akan diberi informasi yang penting, karena dianggap kurang relevan bagi
mereka.
Hubungan
di antara ketiga variabel tersebut digambarkan dalam diagram di bawah ini :
Dari kerangka kerja teoritis
di atas dapat ditarik beberapa hipotesis :
1. Makin banyak penganut stereotype peran jender dalam
organisasi, makin sedikit jumlah wanita yang menduduki posisi manajerial puncak
2. Dalam jenjang manajerial yang sama, manajer pria
mempunyai akses informasi penting lebih banyak daripada manajer wanita.
3. Ada hubungan positif yang signifikan di antara akses
pada informasi dengan kesempatan promosi ke posisi manajerial puncak.
4. Antara stereotype peran jender dan akses pada
informasi penting mempunyai korelasi negatif.
5. Stereotype peran jender dan akses pada informasi
penting, keduanya secara signifikan mempunyai korelasi dengan kesempatan wanita
menduduki posisi manajerial puncak.
Gay,
L.R & Diehl, P.L. Research Methods for Business and management, 1992
Kerlinger,
Fred N, Foundatios Of Behavioral Research, Second Edition, 1973.
Sekaran,
Uma, Research Methods for Business, A Skill Building Approach, Second Edition,
1984.
Pelajari
situasi di bawah ini :
1. Seorang manajer menemukan fakta bahwa pelatihan
yang dilakukan di luar ruangan mempunyai dampak relatif besar terhadap
produktivitas pegawai di departemennya. Namun, dia juga mengamati bahwa bagi
pegawai yang berusia di atas lima puluh tahun, pelatihan tersebut kurang
berpengaruh terhadap produktivitas kerja mereka.
2. Seorang mahasiswa yang akan melakukan penelitian
mengamati perilaku pekerja pabrik di departemen pengepakan. Agar pekerjaannya dapat dilakukan dengan
baik, pekerja di bagian itu harus berinteraksi satu sama lainnya. Sehabis
bekerja, biasanya mereka berkumpul, minum bersama di sebuah café yang ada di
sekitar pabrik. Makin intensif interaksi ketika mereka bekerja, makin lama
mereka berada di café. Namun, walaupun interaksi kerja di antara pegawai wanita
juga intensif, mereka tidak suka berlama-lama berada di café.
Gambarkan hubungan di antara variabel yang terdapat
dalam situasi 1 dan 2 di atas, dan sebutkan jenis variabelnya.
Manajer dari sebuah perusahaan air mineral mengamati
bahwa semangat kerja pegawai di perusahaannya rendah. Dia berpikir, jika
kondisi kerja, skala upah, dan tunjangan cuti diperbaiki, maka semangat kerja
mereka bisa lebih baik. Namun dia juga ragu bahwa perbaikan skala upah akan
mampu menaikan semangat kerja semua pegawai. Dia menduga, pegawai yang
mempunyai “penghasilan sampingan”, kurang tertarik pada perbaikan skala upah.
Namun bagi yang tidak mempunyai penghasilan sampingan, mereka akan bahagia dan
akibatnya semangat kerjanya meningkat.
Susun kerangka kerja teoritis situasi ke 3 di atas.
Gambarkan diagram atau model situasi tersebut.